BAB
II
PEMBAHASAN
A. BAI’ AL-WAFA’
A. Pengertian Bay Al-wafa’
Secara kebahasaan , bai’ berarti “jual beli” dan al-wafa’ “pelunasan
hutang”. Secara terminologis, bai’ al-wafa’
berarti “jual beli bersyarat : barang yang dijual dapat ditebus kembali
jika tenggang waktunya tiba”. Jual beli dalam bai’ al-wafa’ biasanya mengenai
baramg tak bergerak, seperti tanah dan rumah. Bentuk jual beli ini muncul pada
abad ke-5 H di Bukhara dan Balkh.[1]
Mustafa Ahmad az-Zarqa, tokoh fiqih dari Suriah, mendefenisikan bai’ al-wafa’
dengan “ jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat
bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila
tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Akad bai’ al-wafa’ sebenarnya berawal dari hutang piutang atau pinjam
meminjam , yang ketika itu amat sulit tanpa ada imbalan dari yang berutang atau yang meminjam. Dalam menghindari riba,
masyarakat Bukhara dan Balkh (selatan rusia) menciptakan semacam akad, yang
secara sepintas berbentuk jual beli, tetapi hakikatnya adalah pinjam meminjam
dengan imbalan jasa.
Dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam,
masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang
dikenal kemudian dengan bai’ al-wafa’. Banyak diantara orang kaya ketika
itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa
ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula para peminjam uang tidak
mampu melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan. Sementara menurut
ulama fiqh, imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang termasuk
riba.
Bai’ al-wafa’ tidak sama dengan rahn (jaminan utang), karena rahn dalam
islam hanya merupakan jaminan utang, sementara barang yang dijadikan jaminan
tidak dapat dimanfa’atkan oleh pemberi utang. Hal ini didasarkan pada hadist
Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yam diriwayatkan oleh al-Hakim Ibn Majah, Ibnu
Hibban, dan al-Baihaki yang intinya menyatakan bahwa pemegang barang yang
dijadikan jaminan utang pada prinsipnya tidak boleh memanfa’atkan barang
gadaian tersebut, kecuali jika yang yang dijadikan jaminan utang itu adalah
hewan ternak. Hadis yang sama diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu
Daud dari Abu Hurairah.
Apabila pemberi utang memanfa’atkan barang jaminan tersebut, maka hasil
yang dimakannya atau dimanfa’atkannya itu termasuk dalam kategori riba. Hal ini
sejalan pula dengan sebuah hadist Rasulullah SAW :”Setiap utang yang dibarengi
dengan pemanfaatan (untuk pemberi utang ) adalah riba”(HR.al-Bukhari)
Perbedaan mendasar antara bai’ al-wafa’ dan rahn (gadai) adalah :
1.
Pembeli tidak sepenuhnya memiliki
barang yang ia beli (Karena harus dikembalikan kepada penjual)
2.
Selama di tangan pembeli menjadi
tanggung jawab pembeli
3.
Segala biaya yang tersebang
dibutuhkan untuk pemeliharaan menjadi tanggung jawab penjual.
4.
Kedua belah pihak tidak boleh
memindahtangankan barang trsebut ke pihak ketiga
5.
Ketika uang sejumlah pembelian
semua dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli
wajib membrikan barang itu kepada penjual.
Adapaun persamaan antara keduanya adalah sbb :
1)
Kedua belah pihak tidak dapat
memindahtangankan barang tersebut ke pihak ketiga
2)
Ketika uang sejumlah pembelian
semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tanggang waktu jatuh tempo,
pembeli wajib memberikan barang tersebut kepada penjual.
Karena akad bai’ul wafa’ sejak semula telah ditegaskan sebagai jual beli, maka dengan bebas pembeli
memanfa’atkan barang tersebut. Hanya saja pembeli tidak boleh menjual barang
itu kepada orang lain kecuali pada penjual semula, karena jaminan yang berada
di tangan pemberi utang merupakan jaminan utang selama tenggang waktu yang
disepakati tersebut. Apalagi pihak yang berutang telah mempunyai uang untuk
melunasi hutangnya sebesar harga jual semula pada saat tennggang waktu jatuh tempo, barang tersebut harus diserahkan
kembali kepada penjual. Dengan cara bai’ ul-wafa’ ini, kemungkinan terjadinya
riba dapat dihindarkan.
Jual beli yang dibarengi dengan syarat tersebut termasuk jual beli yang dilarang syara’. Hal
ini sesuai dengan hadis yang artinya : Rasulullah SAW melarang jual beli yang
dibarengi dengan syarat. (HR.Muslim, An-Nasa’I, Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu
Majah).
Menurtu Mustafa Ahmad az-Zarqa, dari gambaran ba’I ul-wafa’ diatas
terlihat bahwa akadnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu :
1)
Pada saat akad terjadi itu
merupakan jual beli
2)
Ketika harta itu telah berada di
tangan pembeli, akad ini berbentuk ijarah (pinjam-meminjam/sewa-menyewa),
karena barang tersebut harus dikembalikan sekalipun pemegang harta itu berhak
memanfa’atkan dan menikmati hasil barang tersebut selama waktu yang disepakati.
3)
Diakhir akad, bai’ al-wafa’ ini
seperti gadai, karena dengan jatuhnya tempo yang disepakati kedua belah pihak,
penjual harus mengembalikan uang pembeli sejumlah harga yang diserahkan pada
awal akad, dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya itu kepada
pejual secara utuh. Dari sini terlihat bahwa bai’al-wafa’ diciptakan dalam
rangka menghindari riba, sekaligus sarana tolong menolong antara pemilik modal
dan orang yang membutuhkan uang dalam jangka waktu terentu.
Oleh sebab itu, ulama Mazhab Hanafi menganggap bai’ al-wafa’ adalah sah
dan tidak termasuk dalam larangan Rasulullah SAW yang melarang jual beli yan
dibarengi dengan syarat. Karena sekalipun disyaratkan bahwa harta itu harus
dikembalikan kepada pemilik semula, namun pengembaliannya itupun melalui akad
jual beli. Disamping itu, inti dari jual beli ini adalah dalam rangka
menghidarkan masyarakat melakukan suatu transaksi ynag mengandung riba.
Kemudian dalam prosese pemanfa’atan objek akad (barang yang dijual), statusnya
tidak sma dengan rahn, karena barang tersebut benar-benar telah dijual kepada
pembeli. Seseorang yang telah membeli suatu barang berhak sepenuhnya
memanfa’atkan barang tersebut. Hanya saja, barang itu harus dijual kembali
kepada penjual semula seharga penjualan pertama. Menurut mereka, inipun bukan
suatu cacat dalam jual beli.
B.
Dasar Hukum Bai’ ul wafa’
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, dalam sejarahnya, bai’ al-wafa’ baru
mendapatkan justifikasi ulama, yaitu Mazhab Hanafi, setelah berjalan beberapa
lama dan telah menjadi urf. Imam Nazmuddin An-Nasafi(461-573 H), seorang ulama
terkemuka Mazhab Hanafi di Bukhara, mengatakan : “Para syekh kami (Hanafi)
membolehkan bai’ al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.
Muhammad Abu Zahrah, tokoh fikih dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat
dari segi sosio-historis, kemunculan bai’ al-wafa’ ditengah-tengah masyarakat
Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 H disebabkan keengganan para
pemilik modal untuk member utang kepada orang-orang yang membutuhkan uang jika
mereka tidak mendapat imbalan. Hal ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan.
Keadaan ini membawa mereka untuk membuat akad tersendiri, sehingga kebutuhan
masyarakat terpenuhi dan keinginan orang kaya pun terayomi. Jalan keluar yang
mereka ciptakan ialah bai’ al-wafa’. Dengan cara ini, demekian Az-Zarqa, disatu
pihak kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi, sementara pada saat yang sama
mereka terhindar dari praktek riba.
Jalan fikiran ulama Mazhab Hanafi dalam memberikan justifikasi terhadap
bai’ al-wafa’ didasarka pada istihsan ‘urfi (menjustifikasi suatu permasalahn
yang telah berlaku umum dan berjalan baik di tengah-tengah masyarakat). Akan
tetapi ulam fiqih lainnya tidak bisa melegalisasi bentuk jual beli ini, alasan
mereka adalah :
1)
Dalam suatu akad jual beli tida
dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jula beli adalah akad yang
mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual ke pembeli.
2)
Dalam jual beli tidak boleh ada
syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli ke penjual
semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga jual semula (HR.
Muslim, An-Nasa’I, Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah).
3)
Bentuk jual beli ini tidak ada di
zaman Rasulullah SAW maupun di zaman sahabat
4)
Jual beli ini merupakan hilah yang
tidak sejalan dengan maksud syara’ dan persyariatan jual beli.
Namun demikian ulama fiqih mutaakhirin (generasi belakangan) dapat
menerima baik bentuk jual beli ini dan menganggapnya sebagai akad yang sah.
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Az-Zarqa dan Muhammad Abu Zahrah,
ketika mesir menyusun kitab UU hukum perdata pada tahun 1948, bai’ al-wafa’
juga diakui sah dan dicantumkan dalam pasal 430 UU tersebut. Akan tetapi ketika
terjadi revisi terhadap UU ini pada tahun 1971, bai’al-wafa’ tidak dicantumkan
lagi. Menurut Az-Zarqa pembuangan ini bukan karena akad itu tidak diakui sah
oleh ulama fiqih Mesir, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan situasi dan
kondisi ketika UU itu dibuat.
Di Indonesia bentuk yang mirip
dengan bai’al-wafa’ ini adalah apa yang dinamakan pagang gadai di
Minangkabau. Persamaannya terlihat ketika barang yang digadaikan oleh
pemiliknya harus ditebus kembali oleh pemilik barang pada waktu pagang gadai
tersebut jatuh tempo, seharga yang diterimanya ketika akad dilaksanakan.
Disamping itu, pihak pemegang gadai dengan bebas dapat memanfa’atkan barang
gadaian sampai utang dilunasi pihak penggadai. Akan tetapi, menurut HAMKA ulama
besar yang berasal dari Minangkabau, dalam praktek pagang gadai di Minangkabau,
banyak barang yang digadaikan tersebut tidak ditebus kembali oleh pemiliknya,
sehingga persetujuan yang ditetapkan bersama ketika transaksi dilaksanakan
tidak berjalan dengan baik. Untuk menyelesaikan kasus ini belum terlihat pada
penyelesaian yang tuntas, sehingga pagang gadai yang sejak semula dimaksudkan
sebagai sarana tolong-menolong sering tidak mencapai sasarannya.
C.
Rukun dan Syarat Bai’ Al-Wafa’
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun bai’ al-wafa’ sama dengan rukun jual
beli pada umumnya yaitu ijab (pernyataan menjual), dan qabul (pernyataan
membeli). Dalam jual beli ulama Mazhab Hanafi hanya menjadikan ijab dan qabul
sebagai rukun, sedangkan adanya pihak yang berakad (penjual dan pembeli),
barang yang dibeli, dan harga barang tidak termasuk rukun, termasuk syarat jual
beli.
Demikian juga persyaratan bai’ al-wafa’ menurut mereka sama dengan
persyaratan jual beli pada umumnya. Penembahan syarat untuk bai’ al-wafa’
hanyalah dari segi penegasan bahwa barang telah dijual itu harus dibeli kembali
oleh penjual dan tenggang waktu berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya
satu tahun, dua tahun, atau lebih.
Menurut Az-ZArqa, dalam bai al-wafa’, apabila terjadi keengganan salah
satu pihak untuk membayar utangnya, penyelesaiannya akan dilakukan melalui
pengadilan. Jika yang berutang tidak mampu membayar utangnya ketika jatuh
tempo, maka berdasarkan penetapan pengadilan barang yang dijadikan jaminan
tersebut dapat dijual dan utang pemilik barang dapat dilunasi. Jika pemegang
barang enggan memberikan barangnya ketika utang pemilik barang telah dilunasi,
pengadilan berhak memaksanya pengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya.
Dengan demikian, transaksi yang berlaku dalam bai’ al-wafa’ cukup jelas dan
terperinci serta mendapatkan jaminan yang kuat dari lembaga hokum. Dengan
demikian, tujuan yang dikehendaki oleh bai’ al-wafa’ diharapkan dapat tercapai.
D.
Hikmah Bai’ al-wafa’
Dari beberapa pembahasan bai’ al-wafa’ diatas, kita dapat menyimpulkan
bahwa hikmah bai’ al-wafa’ adalah :
·
Kebutuhan masyarakat lemah
terpenuhi
·
Keinginan orang-orang kaya
terayomi
·
Terhindar dari praktek riba[2]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bai’ al-wafa’ merupakan jual beli
yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang
dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang
ditentukan telah tiba.
Jalan fikiran ulama Mazhab Hanafi dalam memberikan justifikasi terhadap
bai’ al-wafa’ didasarka pada istihsan ‘urfi (menjustifikasi suatu permasalahn
yang telah berlaku umum dan berjalan baik di tengah-tengah masyarakat.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun bai’ al-wafa’ sama dengan rukun jual
beli pada umumnya yaitu ijab (pernyataan menjual), dan qabul (pernyataan
membeli), Demikian juga persyaratan bai’ al-wafa’ menurut mereka sama dengan
persyaratan jual beli pada umumnya. Penembahan syarat untuk bai’ al-wafa’
hanyalah dari segi penegasan bahwa barang telah dijual itu harus dibeli kembali
oleh penjual dan tenggang waktu berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya
satu tahun, dua tahun, atau lebih.
Hikmah bai’ al-wafa’ adalah bahwa Kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi,
keinginan orang-orang kaya terayomi, terhindar dari praktek riba
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H.Nasrun Haroen, M.A.
Ensiklopedi hukum islam.Jakarta :PT.Ikrar
Mandiriabadi, 2000
A. Bakir Ihsan, Msi. Ensiklopedi
Islam. Jakarta :PT. Intermasa. 2005
http://www.badilag.net/component/content/article/161-ensiklobadilag/1632-bai-al-wafa.html.
di akses tgl 18 oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
buatlah komentar yang sewajarnya..
trims.. :)