Sabtu, 02 November 2013

BAB II
PEMBAHASAN
A. BAI’ AL-WAFA’
A.    Pengertian Bay Al-wafa’
Secara kebahasaan , bai’ berarti “jual beli” dan al-wafa’ “pelunasan hutang”. Secara terminologis, bai’ al-wafa’  berarti “jual beli bersyarat : barang yang dijual dapat ditebus kembali jika tenggang waktunya tiba”. Jual beli dalam bai’ al-wafa’ biasanya mengenai baramg tak bergerak, seperti tanah dan rumah. Bentuk jual beli ini muncul pada abad ke-5 H di Bukhara dan Balkh.[1]
Mustafa Ahmad az-Zarqa, tokoh fiqih dari Suriah, mendefenisikan bai’ al-wafa’ dengan “ jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Akad bai’ al-wafa’ sebenarnya berawal dari hutang piutang atau pinjam meminjam , yang ketika itu amat sulit tanpa ada imbalan dari yang berutang  atau yang meminjam. Dalam menghindari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh (selatan rusia) menciptakan semacam akad, yang secara sepintas berbentuk jual beli, tetapi hakikatnya adalah pinjam meminjam dengan imbalan jasa.
Dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan bai’ al-wafa’. Banyak diantara orang kaya ketika itu  tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula para peminjam uang tidak mampu melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan. Sementara menurut ulama fiqh, imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang termasuk riba.
Bai’ al-wafa’ tidak sama dengan rahn (jaminan utang), karena rahn dalam islam hanya merupakan jaminan utang, sementara barang yang dijadikan jaminan tidak dapat dimanfa’atkan oleh pemberi utang. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yam diriwayatkan oleh al-Hakim Ibn Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaki yang intinya menyatakan bahwa pemegang barang yang dijadikan jaminan utang pada prinsipnya tidak boleh memanfa’atkan barang gadaian tersebut, kecuali jika yang yang dijadikan jaminan utang itu adalah hewan ternak. Hadis yang sama diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Daud dari Abu Hurairah.
Apabila pemberi utang memanfa’atkan barang jaminan tersebut, maka hasil yang dimakannya atau dimanfa’atkannya itu termasuk dalam kategori riba. Hal ini sejalan pula dengan sebuah hadist Rasulullah SAW :”Setiap utang yang dibarengi dengan pemanfaatan (untuk pemberi utang ) adalah riba”(HR.al-Bukhari)
Perbedaan mendasar antara bai’ al-wafa’ dan rahn (gadai) adalah :
1.      Pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang ia beli (Karena harus dikembalikan kepada penjual)
2.      Selama di tangan pembeli menjadi tanggung jawab pembeli
3.      Segala biaya yang tersebang dibutuhkan untuk pemeliharaan menjadi tanggung jawab penjual.
4.      Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang trsebut ke pihak ketiga
5.      Ketika uang sejumlah pembelian semua dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib membrikan barang itu kepada penjual.
Adapaun persamaan antara keduanya adalah sbb :
1)      Kedua belah pihak tidak dapat memindahtangankan barang tersebut ke pihak ketiga
2)      Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tanggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang tersebut kepada penjual.
Karena akad bai’ul wafa’ sejak semula telah ditegaskan sebagai  jual beli, maka dengan bebas pembeli memanfa’atkan barang tersebut. Hanya saja pembeli tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain kecuali pada penjual semula, karena jaminan yang berada di tangan pemberi utang merupakan jaminan utang selama tenggang waktu yang disepakati tersebut. Apalagi pihak yang berutang telah mempunyai uang untuk melunasi hutangnya sebesar harga jual semula pada saat tennggang waktu  jatuh tempo, barang tersebut harus diserahkan kembali kepada penjual. Dengan cara bai’ ul-wafa’ ini, kemungkinan terjadinya riba dapat dihindarkan.
Jual beli yang dibarengi dengan syarat tersebut  termasuk jual beli yang dilarang syara’. Hal ini sesuai dengan hadis yang artinya : Rasulullah SAW melarang jual beli yang dibarengi dengan syarat. (HR.Muslim, An-Nasa’I, Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah).
Menurtu Mustafa Ahmad az-Zarqa, dari gambaran ba’I ul-wafa’ diatas terlihat bahwa akadnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu :
1)      Pada saat akad terjadi itu merupakan jual beli
2)      Ketika harta itu telah berada di tangan pembeli, akad ini berbentuk ijarah (pinjam-meminjam/sewa-menyewa), karena barang tersebut harus dikembalikan sekalipun pemegang harta itu berhak memanfa’atkan dan menikmati hasil barang tersebut selama waktu yang disepakati.
3)      Diakhir akad, bai’ al-wafa’ ini seperti gadai, karena dengan jatuhnya tempo yang disepakati kedua belah pihak, penjual harus mengembalikan uang pembeli sejumlah harga yang diserahkan pada awal akad, dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya itu kepada pejual secara utuh. Dari sini terlihat bahwa bai’al-wafa’ diciptakan dalam rangka menghindari riba, sekaligus sarana tolong menolong antara pemilik modal dan orang yang membutuhkan uang dalam jangka waktu terentu.
Oleh sebab itu, ulama Mazhab Hanafi menganggap bai’ al-wafa’ adalah sah dan tidak termasuk dalam larangan Rasulullah SAW yang melarang jual beli yan dibarengi dengan syarat. Karena sekalipun disyaratkan bahwa harta itu harus dikembalikan kepada pemilik semula, namun pengembaliannya itupun melalui akad jual beli. Disamping itu, inti dari jual beli ini adalah dalam rangka menghidarkan masyarakat melakukan suatu transaksi ynag mengandung riba. Kemudian dalam prosese pemanfa’atan objek akad (barang yang dijual), statusnya tidak sma dengan rahn, karena barang tersebut benar-benar telah dijual kepada pembeli. Seseorang yang telah membeli suatu barang berhak sepenuhnya memanfa’atkan barang tersebut. Hanya saja, barang itu harus dijual kembali kepada penjual semula seharga penjualan pertama. Menurut mereka, inipun bukan suatu cacat dalam jual beli.
B.     Dasar Hukum Bai’ ul wafa’
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, dalam sejarahnya, bai’ al-wafa’ baru mendapatkan justifikasi ulama, yaitu Mazhab Hanafi, setelah berjalan beberapa lama dan telah menjadi urf. Imam Nazmuddin An-Nasafi(461-573 H), seorang ulama terkemuka Mazhab Hanafi di Bukhara, mengatakan : “Para syekh kami (Hanafi) membolehkan bai’ al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.
Muhammad Abu Zahrah, tokoh fikih dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari segi sosio-historis, kemunculan bai’ al-wafa’ ditengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 H disebabkan keengganan para pemilik modal untuk member utang kepada orang-orang yang membutuhkan uang jika mereka tidak mendapat imbalan. Hal ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan. Keadaan ini membawa mereka untuk membuat akad tersendiri, sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang kaya pun terayomi. Jalan keluar yang mereka ciptakan ialah bai’ al-wafa’. Dengan cara ini, demekian Az-Zarqa, disatu pihak kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi, sementara pada saat yang sama mereka terhindar dari praktek riba.
Jalan fikiran ulama Mazhab Hanafi dalam memberikan justifikasi terhadap bai’ al-wafa’ didasarka pada istihsan ‘urfi (menjustifikasi suatu permasalahn yang telah berlaku umum dan berjalan baik di tengah-tengah masyarakat). Akan tetapi ulam fiqih lainnya tidak bisa melegalisasi bentuk jual beli ini, alasan mereka adalah :
1)      Dalam suatu akad jual beli tida dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jula beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual ke pembeli.
2)      Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli ke penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga jual semula (HR. Muslim, An-Nasa’I, Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah).
3)      Bentuk jual beli ini tidak ada di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman sahabat
4)      Jual beli ini merupakan hilah yang tidak sejalan dengan maksud syara’ dan persyariatan jual beli.
Namun demikian ulama fiqih mutaakhirin (generasi belakangan) dapat menerima baik bentuk jual beli ini dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Az-Zarqa dan Muhammad Abu Zahrah, ketika mesir menyusun kitab UU hukum perdata pada tahun 1948, bai’ al-wafa’ juga diakui sah dan dicantumkan dalam pasal 430 UU tersebut. Akan tetapi ketika terjadi revisi terhadap UU ini pada tahun 1971, bai’al-wafa’ tidak dicantumkan lagi. Menurut Az-Zarqa pembuangan ini bukan karena akad itu tidak diakui sah oleh ulama fiqih Mesir, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi ketika UU itu dibuat.
            Di Indonesia bentuk yang mirip dengan bai’al-wafa’ ini adalah apa yang dinamakan pagang gadai di Minangkabau. Persamaannya terlihat ketika barang yang digadaikan oleh pemiliknya harus ditebus kembali oleh pemilik barang pada waktu pagang gadai tersebut jatuh tempo, seharga yang diterimanya ketika akad dilaksanakan. Disamping itu, pihak pemegang gadai dengan bebas dapat memanfa’atkan barang gadaian sampai utang dilunasi pihak penggadai. Akan tetapi, menurut HAMKA ulama besar yang berasal dari Minangkabau, dalam praktek pagang gadai di Minangkabau, banyak barang yang digadaikan tersebut tidak ditebus kembali oleh pemiliknya, sehingga persetujuan yang ditetapkan bersama ketika transaksi dilaksanakan tidak berjalan dengan baik. Untuk menyelesaikan kasus ini belum terlihat pada penyelesaian yang tuntas, sehingga pagang gadai yang sejak semula dimaksudkan sebagai sarana tolong-menolong sering tidak mencapai sasarannya.

C.     Rukun dan Syarat Bai’ Al-Wafa’
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun bai’ al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya yaitu ijab (pernyataan menjual), dan qabul (pernyataan membeli). Dalam jual beli ulama Mazhab Hanafi hanya menjadikan ijab dan qabul sebagai rukun, sedangkan adanya pihak yang berakad (penjual dan pembeli), barang yang dibeli, dan harga barang tidak termasuk rukun, termasuk syarat jual beli.
Demikian juga persyaratan bai’ al-wafa’ menurut mereka sama dengan persyaratan jual beli pada umumnya. Penembahan syarat untuk bai’ al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa barang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.
Menurut Az-ZArqa, dalam bai al-wafa’, apabila terjadi keengganan salah satu pihak untuk membayar utangnya, penyelesaiannya akan dilakukan melalui pengadilan. Jika yang berutang tidak mampu membayar utangnya ketika jatuh tempo, maka berdasarkan penetapan pengadilan barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual dan utang pemilik barang dapat dilunasi. Jika pemegang barang enggan memberikan barangnya ketika utang pemilik barang telah dilunasi, pengadilan berhak memaksanya pengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Dengan demikian, transaksi yang berlaku dalam bai’ al-wafa’ cukup jelas dan terperinci serta mendapatkan jaminan yang kuat dari lembaga hokum. Dengan demikian, tujuan yang dikehendaki oleh bai’ al-wafa’ diharapkan dapat tercapai.
D.    Hikmah Bai’ al-wafa’
Dari beberapa pembahasan bai’ al-wafa’ diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa hikmah bai’ al-wafa’ adalah :
·         Kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi
·         Keinginan orang-orang kaya terayomi
·         Terhindar dari praktek riba[2]







BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bai’ al-wafa’ merupakan  jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Jalan fikiran ulama Mazhab Hanafi dalam memberikan justifikasi terhadap bai’ al-wafa’ didasarka pada istihsan ‘urfi (menjustifikasi suatu permasalahn yang telah berlaku umum dan berjalan baik di tengah-tengah masyarakat.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun bai’ al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya yaitu ijab (pernyataan menjual), dan qabul (pernyataan membeli), Demikian juga persyaratan bai’ al-wafa’ menurut mereka sama dengan persyaratan jual beli pada umumnya. Penembahan syarat untuk bai’ al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa barang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.
Hikmah bai’ al-wafa’ adalah bahwa Kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi, keinginan orang-orang kaya terayomi, terhindar dari praktek riba

















DAFTAR PUSTAKA

Dr. H.Nasrun Haroen, M.A. Ensiklopedi hukum  islam.Jakarta :PT.Ikrar Mandiriabadi, 2000
A. Bakir Ihsan, Msi. Ensiklopedi Islam. Jakarta :PT. Intermasa. 2005




[1] A. Bakir Ihsan, Msi. Ensiklopedi Islam. Jakarta :PT. Intermasa. 2005,hal 278
[2] Dr. H.Nasrun Haroen, M.A. Ensiklopedi hukum  islam.Jakarta :PT.Ikrar Mandiriabadi, 2000.hal 176-179

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

buatlah komentar yang sewajarnya..
trims.. :)